Pengampunan ? Sejauh mana dapat diberikan ?

Memberikan pengampunan bukan hal yang gampang bagi banyak orang. Hati manusia cenderung ingin membalas kejahatan dengan kejahatan. Pembalasan dendam menawarkan kepuasan bagi perasaan.

Godaan untuk balas dendam mungkin bisa sedikit berkurang jika orang yang bersalah kepada kita menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada kita (Luk. 17:3-4). Bahkan dalam situasi seperti ini, mereka yang memutuskan untuk mengampuni juga masih memiliki sebuah pergumulan. Sejauh mana pengampunan diberikan? Maksudnya, apakah pengampunan selalu harus berupa pemulihan hubungan seperti sebelum kejahatan dilakukan? Jika iya, bagaimana dengan mereka yang tidak menyadari kesalahannya dan tidak mau meminta maaf? Jika tidak, sejauh mana kebaikan perlu ditunjukkan?

Alkitab memberikan jawaban yang cukup realistis. Tidak semua relasi memang dapat dipulihkan seperti sedia kala. Paulus menasihati kita untuk hidup damai dengan semua orang, tetapi dia memberi tambahan “kalau hal itu bergantung kepada kamu” (Rm. 12:18). Di tempat lain dia mengajarkan kita untuk tidak bergaul dengan orang yang bebal, tetapi kita tetap harus menganggap dia sebagai saudara (2Tes. 3:14-15).

Alkitab juga tidak pernah memerintahkan kita untuk memperbaiki hubungan seperti sedia kala. Jika kita mampu melakukannya jelas lebih baik. Bagaimanapun, tidak ada perintah yang mewajibkan itu.

Kesimpulan

Oleh karena itu Sejauh mana kita mengampuni ditentukan oleh sikap hati kita. Beberapa catatan dalam Alkitab menggariskan beberapa batasan pengampunan:

1.Kita tidak memikirkan pembalasan (Roma 12:19; 1 Tesalonika 5:15).

Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. (Rom. 12:19 ITB)

Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang. (1 Thess. 5:15 ITB)

2.Kita tetap mengharapkan yang baik bagi musuh kita (Lukas 6:28).

mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. (Lk. 6:28 ITB)

3.Kita tidak bersukacita atas kesengsaraannya (Amsal 24:17).

Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok, (Amsal 24:17 ITB)

4.Kita mendoakan dia (Matius 5:44).

Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (Matt. 5:44 ITB)

5.Kita telah berusaha untuk berdamai dengan dia (Roma 12:18).

Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! (Rom. 12:18 ITB)

Pada intinya, sikap hati kita menjadi kunci. Hati yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar. Jika dari awal kita menolak untuk memaafkan dan hanya ingin menghindar, maka respons positif dari orang tersebut tidak akan merubah sikap kita terhadapnya. Kita sudah memutuskan untuk tidak mempercayainya, terlepas dari usahanya yang ditunjukkan kepada kita. Namun, jika kita membiarkan hati kita diselaraskan oleh Roh melalui kuasa Injil, kita akan diberdayakan untuk melangkah lebih jauh. Mungkin tidak selalu sejauh sebelumnya, tetapi tetap lebih jauh daripada yang sewajarnya.

Tuhan Yesus memberkati 🙂

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *